Minggu, 21 Desember 2008

SMK3 dan Manfaatnya bagi Kalangan Dunia Usaha

Dunia usaha saat ini mulai disibukkan dengan adanya sejumlah persyaratan dalam perdagangan global, yang tentu akan menambah beban bagi industri. Persyaratan tersebut adalah kewajiban melaksanakan Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja, sesuai dengan Undang-Undang No. 15 tahun 2003 pasal 87. Persyaratan ini sebenarnya sebuah kewajiban biasa, bukan beban yang harus ditanggung setiap perusahaan. Kewajiban karena seharusnya sudah diperhitungkan sebagai investasi perusahaan. Dianggap sebagai beban karena belum seluruh perusahaan melakukannya.

Yang menjadi pokok permasalahan adalah awareness terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di masyarakat pada umumnya dan masyarakat industri pada khususnya. Sesuai dengan Permenaker 5/96 Sistem Manajemen keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses, dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.

Tujuan dan sasaran SMK3 adalah menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi, dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif. Dalam penerapannya SMK3 harus dilaksanakan pada setiap perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karateristik proses atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti ledakan, kebakaran, pencemaran, dan penyakit akibat kerja.

Mengapa pelaksanaan SMK3 di industri masih belum seperti yang diharapkan? Beberapa hal yang dapat disampaikan disini adalah:

  1. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat pada umumnya dan kalangan industri pada khususnya.
  2. Cara penerapan SMK3 yang masih belum banyak dimengerti.
  3. Dianggap sebagai high cost.
  4. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) belum menjadi prioritas.
  5. SMK3 kurang populer seperti OSHASS 18001.

KURANGNYA PEMAHAMAN

Implemntasi program K3 belum sepenuhnya diadopsi oleh pelaku dunia usaha. Pendekatan K3 ke masyarakat selama ini baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga/instansi lainnya bersifat formal. Informasi tentang K3 masih sebatas pada tatanan akademis dan masyarakat sendiri (yang juga masih sangat terbatas pada mereka yang menangani produksi). K3 belum menjadi budaya di masyarakat kita, terutama pada masyarakat industri. Masih terbatasnya informasi tentang K3 melalui media cetak dan elektronik menyebabkan para ahli, pemerhati, dan konsultan K3 lebih banyak clubbing di dunia maya. Mereka membentuk komunitas sendiri yaitu komunitas K3, dan saling memberikan informasi terbaru.

Informasi k3 pada media cetak memang sudah ada, tetapi masih belum memadai. Pemerhati K3 pada umumnya memberikan komentar, infomasi, opini bila suatu peristiwa (kecelakaan) sudah terjadi. Selama ini media cetak maupun elektronik hanya memuat atau menayangkan peristiwa (kecelakaan, kebakaran atau ledakan) yang terjadi dengan jumlah korban dan harta sebagai akibatnya, tanpa ulasan mengapa dan bagaimana peristiwa tersebut terjadi. Kurangnya biaya untuk penyebaran informasi ini juga sebagai sebuah kendala.

PENERAPAN SMK3

Meskipun SMK3 digaungkan sejak tahun 1996, tetapi hasil dari gaung tersebut masih jauh dari yang diharapkan. Pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan oleh pemerintah selama ini masih sangat terbatas. Kemudian karena adanya persyaratan, lembaga pelatihan swasta tidak semuanya dapat melakukan pelatihan tersebut. Pelatihan juga bersifat parsial, sehingga peserta pelatihan tidak dapat langsung menerapkan di perusahaan. Menjadi kendala juga karena untuk mengikuti pelatihan yang benar-benar nantinya langsung dapat diterapkan membutuhkan waktu ekstra, dan hal ini tidak diijinkan oleh perusahaan dengan alasan mengganggu produksi, terlebih bila peserta ini adalah karyawan yang potensial. Untuk menghindari adanya gangguan produksi perusahaan mengharapkan pelatihan dilakukan pada hari libur, karyawan pun bersedia hanya saja efek yang lain adalah karyawan menuntut lembur.

DIANGGAP HIGH COST

Paradigma pelaksanaan K3 sebagai biaya nyatanya masih membayangi sebagian manajemen perusahaan dalam mengelola sistem K3. Orientasi perusahaan cenderung lebih difokuskan pada produksi. Banyak perusahaan yang menganggap pengadaan peralatan K3 seperti alat pelindung diri identik dengan biaya. Kenyataannya memang pelaksanaan dari peraturan K3 akan memakan biaya, hanya saja biaya yang dikeluarkan akan berbuah keuntungan yang lebih besar bagi perusahaan. Artinya dengan nihilnya kecelakaan besarnya investasi yang dikeluarkan akan terbayar dengan peningkatan produktivitas pekerja. Anggaran program K3 untuk setiap perusahaan akan sangat bervariasi tergantung dari awareness, besar kecilnya perusahaan, resiko bahaya yang ada, persepsi terhadap K3, dan sebagainya.

Program K3 sangat penting untuk dilaksanakan sebab bila terjadi kecelakaan kerja yang berakibat menimbulkan korban jiwa, dapat menunda pekerjaan dan bahkan menjadi masalah hukum yang memakan waktu cukup lama. Disinilah dalam K3 kita mengenal hidden cost/biaya tersembunyi. Adanya korban jiwa, perusahaan selain memenuhi kewajiban untuk biaya-biaya yang telah ditentukan (fenomena gunung es), ternyata masih banyak biaya lain yang harus dikeluarkan misalnya pemenuhan permintaan yang terlambat karena adanya kecelakaan, sehingga menyebabkan karyawan lembur.

Apabila korban tersebut adalah karyawan yang mempunyai keahlian, perlu merekrut karyawan baru untuk dilatih dan jelas hal ini membutuhkan waktu dan biaya. Karena itu perusahaan dituntut untuk efisien dan efektif dalam pelaksanaan program K3. Kita harus sadar bahwa pencegahan lebih baik dan lebih murah daripada pengobatan.

Karena alasan biaya, perusahaan mendahulukan kepentingan produksi daripada pelaksanaan K3. Terutama untuk perusahaan yang sedng mengaktualisasikan keberadaannya. Menjadi lebih ironis ketika kesadaran terhadap aspek K3 di dunia usaha belum sepenuhnya menjadi bagian dari aktivitas bisnis.

SMK3 KURANG POPULER

Pemasaran SMK3 tidak segencar OSHASS 18001. Buyers dari luar negeri memilih OSHASS 18001 sebagai persyaratan untuk menjadi stake holder mereka. Keberadaan badan audit OSHASS 18001 merata di daerah hampir seluruh indonesia. Hal ini menandakan jangkauan dan biaya menjadi lebih rendah. SMK3 seperti produk-produk yang lain seharusnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Dengan permasalahan-permasalahan diatas beberapa langkah yang kiranya dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

  1. Informasi K3 yang terus menerus, baik itu dilakukan oleh lembaga pemerintah, swasta, maupun lembaga swadaya masyarakat melalui media cetak dan media elektronik. Sasaran informasi dobagi dalam segmen-segmen usia. Informasi k3 sebaiknya sudah diberikan pada awal-awal usia dini. Pengalaman selama ini informasi melalui media elektronik sangat mudah diserap oleh anak-anak, dengan materi peristiwa yang ada di sekelilingnya. Pendidikan K3 seyogyanya diselenggarakan di semua tempat baik di rumah dan dalam keluarga, sekolah-sekolah, tempat umum, tempat kerja, tempat rekreasi, dan lain-lain. Kemajuan yang pesat pada bidang teknologi informasi memungkinkan penyebaran informasi dan petunjuk dalam bentuk yang lebih luas dan lebih intensif. Sarana audio visual seperti CD, VCD, LCD dan sebagainya sangat praktis untuk digunakan. Dapat juga diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan kelompok-kelompok sasaran berdasarkan kondisi dan situasi yang ada. Pembuatan buku-buku K3 yang dapat dibaca oleh seluruh lapisan masyarakat, karena K3 menjadi tanggung jawab bersama seluruh masyarakat.
  2. Pelatihan penerapan SMK3 sebaiknya dilakukan dengan lebih sering dalam frekwensi dan lebih efektif. Pelatihan disusun secara bulat dan utuh sehingga peserta segera dapat melaksanakan bila kembali ke perusahaan. Materi dapat dimulai dari peraturan-peraturan yang berlaku, kemudian mekanisme penerapan SMK3, bagaimana cara menerapkannya, bagaimana pendokumentasiannya, dan sebagainya.
  3. Untuk menanggulangi biaya tinggi, kinerja perusahaan hendaknya efektif dan efisien, dengan pengertian kewajiban melaksanakan SMK3 atau program-program K3 tidak dapat ditunda lagi. Program K3 haruslah bersifat spesifik, dapat diukur, layak untuk dilakukan, ada yang bertanggung jawab, dan terjadwal. Pembuatan program bersifat prioritas sesuai dengan identifikasi masalah-masalah yang timbul.
  4. K3 bukan lagi sebagai kewajiban, sebagai gerakan, atau hanya sekedar kampanye, tetapi sudah sebagai kebutuhan. Budaya K3 harus dikembangkan melalui kemitraan dan dialog antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Kemitraan menyangkut tanggung jawab, tugas, dan penciptaan tempat kerja yang aman, selamat, dan sehat.
  5. Dalam pelaksanaan tender/lelang pekerjaan peserta tender/lelang diwajibkan memasukkan program K3 (telah menerapkan SMK3) pada persyaratannya.

Dengan langkah-langkah atau saran tersebut diatas, diharapkan SMK3 menjadi impian setiap perusahaan yang menginginkan keberadaannya dan citranya di masyarakat tidak dipandang sebelah mata. Remember, safety is your responsible.

Do it now. Change your mind.

Penulis : Ir. Haryuti (pemerhati K3 di Jawa Timur)

Sumber : SDM Plus

Tidak ada komentar: