Minggu, 21 Desember 2008

pekerja sadar K3 dibanding profesional !?

Mencoba memberi masukan yang profesional (maunya).

Sekedar perkenalan, saya Taru, kerja jadi “buruh” safety di kontraktor Surabaya, jebolan UNS jurusan Hiperkes & KK (sekalian promosi, he.. he..), baru buka google ngetik accident of contruction, eh keluar nich page, baca artikel-artikelnya, bagus banget, communicative, santai, tapi tetep informative n mengena.

Ada sedikit pertanyaan tentang “cara membangun kesadaran K3 di pekerjaan konstruksi”, kalo pekerja lapangan kaya carpenter, rebarman, dll sich lumayan gampang, tapi aneh, orang-orang yang ngakunya lebih profesional seperti project manager, site manager, dan orang-orang kantoran malah sulit memahami arti pentingnya K3, beliau-beliau sering melanggar sendiri peraturan K3 yang dalam tanda kutip mereka tandatangani sendiri.

Tolong pak, beri masukan yang “profesional” untuk orang-orang yang “profesional” juga kalo ada minta foto-foto accident di pekerjaan kontruksi. Budaya orang Indonesia, “belajar dari pengalaman”, kalo gak ada pengalaman dulu katanya sulit belajar, semoga dengan gambar-gambar ‘ngeri’ dari orang-orang yang udah mengalami accident menjadi pembelajaran visual, dan tentunya kecelakaan dapat dihindari.

Hallo Taru yang ahli safety, salam kenal. Omong-omong atas dasar apa bahwa anda yakin kalau saya bisa memberi masukan profesional ?

Padahal kalau anda baca statement saya di pojok kanan atas, sama sekali tidak mencantumkan tentang bidang tersebut. Sebagai structural engineer maka jelas yang dimaksud dengan safety adalah keamanan struktur ketika dipakai, jadi tidak pernah itu mempelajari aspek manusia pekerjanya. Nggak ada itu di mata kuliah S1, S2 maupun S3 jika bidang yang ditekuni yaitu structural engineering. He, he, mohon masukan dari para structural engineer yang lain. Betul nggak ? Kalaupun ada yang membahas hal tersebut di level S1 pasti itu di mata kuliah manajemen konstruksi atau semacamnya gitu.

Kalau begitu pak Wir nggak bisa ngasih masukan dong ?

Emangnya saya ngomong begitu ! Saya hanya mau mengatakan bahwa untuk menjawab pertanyaan anda, jelas, saya tidak bisa mengandalkan ilmu structural engineering yang menjadi core kompetensi formal saya selama ini.

Jadi pakai ilmu kompetensi apa pak Wir ?

Wah mau tahu aja ! Pakai apa ya ? Jadi bingung sendiri ! Aku di sini ngakunya apa aja sih ? O ya, ada ini lho :

  • structural engineer,
  • computer programmer,
  • digital photographer and manipulation,
  • drafter,
  • writer,
  • speaker,
  • researcher,
  • christian faith,
  • doctoral candidature and
  • lecturer

Lho koq banyak juga ya. Wah meragukan kalau begitu. Emangnya ada orang punya kompetensi sebanyak itu.

Aku sendiri juga bingung lho. Tapi kalau sedang memeragakan kapasitas sebagai salah satu pribadi tersebut, rasanya enjoy-enjoy aja tuh.

Kayaknya untuk menjawab pertanyaan saudara, saya harus memakai peran sebagai writer, researcher, christian faith. Ok ?

Setelah menganalisis tulisan saudara secara keseluruhan, maka saya menyimpulkan, bahwa yang menjadi permasalahan utama adalah :

orang-orang yang ngakunya lebih profesional . . . malah sulit memahami arti pentingnya K3,

Iya khan ? Pasti deh, oleh karena itu yang saya jadikan judul artikel ini. Ini juga contoh bagaimana cara menulis artikel yang menarik.

He, he, menarik nggak sih ?

Pasti ! Buktinya anda membaca sampai ini saja sudah menjadi bukti bahwa ini menarik, padahal esensi yang mau diceritakan belum nongol juga. Iya khan.

Saya merasakan perasaan kecewa anda sebagai seorang “buruh” safety. Dengan menyatakan “buruh” saja, itu membuktikan bahwa posisi anda kelihatannya serba salah ! Nggak pede-pede amat, bukan menjadi faktor penentu, atau ekstrimnya anda merasa kadang-kadang hanya dianggap sebagai “angin lalu saja”. Ngaku aja ! Iya khan.

Tapi jangan kuatir, itu biasa. Kenapa ? Karena pada umumnya orang yang memberitahu hal-hal yang “maksudnya baik” tetapi “tidak langsung berkorelasi ke sesuatu yang cepat terlihat” dan bahkan “ada konsekuensi logis yang nggak enak“, ada sanksinya misalnya. Itu jelas nggak gampang. Bahkan kadang-kadang dicerca.

Paham nggak penjelasan di atas ? Agak philosofi lho. Baiklah saya urai saja ya.

Maksudnya baik” adalah jelas, kesadaran K3 khan ujung-ujungnya keselamatan kerja. Zero accident gitu lho. Itu khan prinsip kerja yang menjadi tujuan semua orang. Emangnya ada orang yang mau kena accident. Pasti nggak khan.

Jadi anda pasti kesel kenapa maksud baik tersebut tidak ditanggapi positip oleh para profesional tersebut, iya khan !

tidak langsung berkorelasi ke sesuatu yang cepat terlihat“, ini maksudnya ditujukan ke profesional tersebut. Kalau ke pekerja, maka maksudnya sudah cukup jelas ! Langsung dapat memahami apa itu bebas accident. Jadi mereka (pekerja) seperti kerbau di cocok hidungnya jika ditanya : “Emangnya kamu mau kena accident ?. Kalau begitu, pakai dong safety belt-nya“. Sedangkan bagi profesional atau anda tadi menyebutnya orang-orang kantoran, itu khan menunjukkan bahwa mereka merasa tidak bakal kena accident tersebut. Lha wong di kantoran. Coba perhatikan para profesional yang di lapangan, emangnya berani naik ketinggian bebas tanpa pengaman ! Hebat kalau ada. Bagi mereka yang di kantoran tersebut (yang tidak langsung), tidak melihat korelasi langsung kesadaran K3 tadi dengan keuntungan proyek secara keseluruhan. Apakah itu berarti profitnya langsung naik. Yang jelas, mereka harus mengeluarin anggaran untuk K3 itu. Iya khan. Baru kalau ada kejadian, terasa deh. Tapi itu khan fungsi statistik, jika terjadi aja. Apalagi kita bangsa yang religius, jika ada kejadian, lalu dinyatakan “wah kurang doanya sih !” :(

Konsekuensi logis“, rasanya sudah diterangkan di atas. Ternyata untuk melaksanakan K3 khan harus mengeluarkan anggaran, minimal harus menggaji anda (buruh safety). Gitu khan. Belum hal-hal yang lain seperti prosedur kerja berbelit-belit. Orang-orang yang ngaku profesional tadi khan merasa udah pinter, digurui lagi. Jadi pantes lha kalau mereka merasa segan atau males mengikuti kesadaran k3 tersebut.

Ha, ha, ha. Gitu khan yang anda rasakan sebagai “buruh” safety.

Lalu bagaimana pak Wir ?

Saya ulangi lagi. Pertama-tama, “jangan kecil hati“. Profesi anda membutuhkan iman dan keyakinan yang kuat. Anda harus yakin bahwa profesi anda adalah mulia, mengajarkan keselamatan. Dalam hal ini adalah keselamatan dunia. Jadi kalau agama mengajarkan keselamatan dunia akherat, maka anda adalah porsi dunianya. Hebat khan. Jadi bekerjalah dengan baik tidak sekedar pamrih gaji bulanannya saja.

Kedua. Bahwa anda menghubungkan profesi terhadap kesadaran K3 , menurut saya tidak benar. Jika kenyataan yang anda lihat adalah seperti itu, tetapi itu bukan berarti anda dapat menggeneralisasi atau mengkaitkan profesi terhadap kesadaran seperti itu.

Menurut saya itu kesalahan mereka sebagai manusia Indonesia pada umumnya, dan tidak tergantung profesi.

Wah apa itu pak Wir ?

Perhatikan. Kondisi yang anda temui seperti itu memang umum terjadi pada negara tidak maju, yang mana mereka terbatas wawasannya, hanya melihat yang nampak, yang terjadi langsung di sekitar mereka, hanya mikir jangka pendek atau hanya mikir jika itu menyangkut langsung dirinya sendiri. Orang lain ? Emangnya gua pikirin.

Kenapa begitu ? Kata kuncinya adalah pendidikan. Pemimpin negara kita khan belum melihat bahwa pendidikan dapat menjadi solusi atas semua yang terjadi dinegeri ini. Mereka hanya melihat bahwa pendidikan menghabiskan (konsumtif) anggaran negara saja. Mereka tidak melihat bahwa pendidikan adalah memberdayakan.

Howard Gardner, profesor di bidang kognisi dan pendidikan di Harvard, menyatakan :

  • Lembaga pendidikan formal memainkan peranan kunci dalam menentukan apakah sang individu akan menjadi pekerja yang baik dan warga yang aktif.

Pendidikan dalam hal ini adalah dalam arti luas, jelas para profesional tersebut mempunyai pendidikan cukup untuk bisa disebut profesional, bisa S1, S2 atau S3. Tapi seperti uraian saya di depan, bahwa meskipun saya punya S3 bidang structural engineering tetapi nggak bisa jika itu digunakan untuk menjawab pertanyaan saudara. Jadi pendidikan dalam arti sesuatu yang dapat mentransformasi manusia menjadi esensi sebenarnya sehingga mampu menjawab pertanyaan “mengapa saya hidup di dunia ini“. Jika itu dapat maka akan dapat dijawab secara tuntas penyelesaian permasalahan tersebut.

Coba saya bertanya kepada anda :”mengapa anda hidup di dunia ini“.

He, he, he nggak gampang bukan.

Kalau anda pak Wir ?

Esensi hidup di dunia ini cukup sederhana, yaitu

  • kita harus mengembangkan diri, sehingga dapat mandiri dan tidak menjadi beban orang lain. Kata kuncinya adalah tidak mengeluh, dapat menyukuri nikmat hidup ini. Dengan menyukuri maka itu juga berarti bisa merasa berkecukupan.
  • jika sudah dapat merasakan kecukupan atau perasaan kaya, maka tentunya dapat berbagi untuk orang lain. Jadi diharapkan dengan adanya kita, maka orang lain bisa merasakan hal yang sama kita rasakan.
  • jika aku dan mereka (manusia yang lain) sudah terkover, maka tujuan ketiga adalah bahwa dengan semuanya itu, saya dan orang lain disekitarnya dapat saling memuliakan Tuhannya.

Itu aja tujuan hidupku, nggak ada tuh, tujuanku cari duit aja, cari gelar aja. Memang sih, itu bagian kecil yang memang harus aku usahakan selama di dunia ini.

Jadi jika semua orang sudah mempunyai pemikiran seperti itu, maka mereka akan dengan gampang melihat bahwa adanya konsekuensi logis akan kesadaran K3 adalah wajar adanya, karena mungkin tidak terlihat secara langsung pada pengumpulan duit, tapi jelas dengan hal-hal tersebut akan dapat menyelamatkan sesama yang lain. Tidak ego, mentang-mentang para profesional tersebut tidak terjun langsung ke lapangan sehingga tidak mengalami sendiri resiko accident.

Itu semua yang saya utarakan adalah kondisi ideal. Tidak setiap orang melihat bahwa itu merupakan suatu pencerahan, yang mereka lihat “duitnya ilang”. Ego tadi.

Lalu gimana ?

Itulah kunci gunanya Undang-Undang K3. Jadi anda sebagai profesional di bidang K3 harus mengacu pada undang-undang hukum. Waktu memberi penjelasan kepada para profesional maka semuanya harus dikaitkan dengan sanksi. Jika ada pekerja yang kena accident maka yang bertanggung jawab adalah atasannya.

Lho khan udah membayar buruh safety ?

Pastikan bahwa setiap prosedur K3 yang baku sudah dijalankan. Jika tidak jalan, pastikan siapa yang menyebabkan. Anda sebaiknya bikin record tertulis terhadap hal-hal yang menyebabkan prosedur K3 tidak jalan. Record tadi yang menjadi bukti bahwa bukan di anda kesalahan terjadi, tetapi di para profesional tersebut. Jadi jika sampai ada tuntutan hukum yang kena adalah mereka.

Jika mereka (para profesional) melihat bahwa setiap tindakan yang tidak mendukung K3 tadi dapat terkait dengan tuntutan hukum langsung ke pribadi mereka. Maka saya yakin itu akan memberi pengaruh positip untuk mendukung tindakan-tindakan yang mengarah kepada kesadaran K3.

Budaya orang Indonesia, “belajar dari pengalaman”, kalo gak ada pengalaman dulu katanya sulit belajar

Apa bener pernyataan di atas bahwa itu adalah budaya orang Indonesia ?

Saya bilang salah, itu bukan budaya kita. Coba lihat saja, emangnya kita belajar dari pengalaman masa lalu. Wah kalau cerita ini bisa panjang, lain artikel aja ya.

Yang jelas, budaya orang Indonesia adalah “suka meniru“, suka latah. Jadi jika ada orang kita melihat orang lain berbuat sesuatu dan ternyata tidak apa-apa, bahkan mendapat nikmat, meskipun itu melanggar hukum maka berbondong-bondonglah orang kita menirunya.

Kenapa ?

Ya seperti yang saya ungkap tadi, wawasannya sempit.

O ya, untuk gambar-gambar accident terus terang saya tidak suka mengkoleksi gambar-gambar buruk, apalagi tentang kematian. Jadi saya nggak mau ada gambar kematian di sini di blog ini. Itu hukumnya wajib. :P

Hikmat lebih baik dari pada alat-alat perang, tetapi satu orang yang keliru dapat merusakkan banyak hal yang baik.

Tidak ada komentar: