Mencegah lebih baik daripada mengobati. Ungkapan ini terdengar klise tapi agaknya masih tetap efektif, apalagi di dunia kerja seperti pertambangan yang memiliki tingkat risiko kerja tinggi.
Kondisi tidak aman dapat menimbulkan risiko kecelakaan yang tidak kita inginkan. Sepanjang 2006 lalu ada 294 kondisi tidak aman yang tercatat saat insepksi rutin oleh Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) baik di PTBA dan mitra kerja. ”Kondisi sebenarnya di satuan kerja bisa jadi lebih besar dari ini, karena ada kemungkinan tidak tercatat oleh Departemen K3,” kata Sukono, Asisten Manajer Pengawasan K3 & Hyperkes PTBA.
Kondisi tidak aman bisa terjadi berulang-ulang setiap tahunnya. Lampu penerangan jalan yang mati, umpamanya, baru bisa diganti yang baru dua atau tiga hari kemudian. Ini memang kondisi yang tidak fatal. Sehingga menurut Sukono, ”Kalau dilakukan perencanaan yang lebih bagus lagi, kondisi ini tidak mungkin terjadi lagi.”
Menurut Sukono, suatu kecelakaan kerja sebetulnya bisa diukur dari tingkat risikonya. Sehingga kalau kita sudah paham akan peluang dan potensi akibat dari kondisi tidak aman itu maka sebetulnya kita bisa mencegah atau mengurangi risiko kecelakaan itu sebelum terjadi kejadian sesungguhnya.
Tingkat risiko bisa diukur dari kemungkinan peluang (probability) dan akibat (consequency) munculnya suatu kejadian berbahaya. Di dalam matrik penilaian risiko PTBA, kemungkinan peluang terbagi ke dalam empat kelas. Pertama, kemungkinan munculnya peluang sangat kecil, berarti secara praktis kemungkinan terjadinya kecelakaan sangat kecil. Bisa jadi kejadian itu hanya terjadi sekali dalam kehidupan sebuah industri, pabrik atau tambang. Kedua, kemungkinan peluang terjadinya jarang. Berarti kejadian ini pernah terjadi di industri namun tidak sering. Kemungkinan terjadinya peluang seperti ini hanya terjadi sekali dalam 20 tahun, dan kemungkinan bisa saja terjadi suatu saat. Ketiga, kemungkinan peluang kadang-kadang. Ini terjadi rata-rata sekali dalam tiga tahun. Lalu terakhir, kemungkinan peluang yang sering terjadi, rata-rata terjadi sekali atau lebih dalam kurun waktu satu tahun.
Kemungkinan akibat yang ditimbulkan dari peluang tadi juga terbagi ke dalam empat kelas. Pertama, akibat dapat diabaikan. Kategori ini berarti kejadian tersebut hanya menimbulkan kecelakaan ringan, yang hanya perlu pertolongan ringan saja (cedera first aid). Dalam kategori ini kerugian harta benda diperkirakan hanya sampai Rp 100.000. Kedua, kategori sedang. Terjadi cedera ringan, dengan nilai kerugian harta benda lebih besar dari Rp 100.000 tapi tidak lebih dari Rp 100 juta. Ketiga, kategori besar. Terjadi cedera berat hingga menimbulkan kelumpuhan pada salah satu anggota tubuh (permanent disabling injury). Di hitung dari nilainya, kecelakaan ini menimbulkan kerugian harta benda lebih dari Rp 100 juta hingga Rp 10 miliar. Kategori keempat, katastropik. Yakni satu atau lebih kecelakaan fatal yang menimbulkan kerugian harta benda lebih besar dari Rp 10 miliar.
Dari matrik peluang dan akibat, maka setiap kotak memiliki ranking penilaian risikonya masing-masing. Semakin kecil rankingnya maka prioritas perbaikannya semakin rendah. Ada 9 ranking yang disusun oleh Departemen K3, yang terbagi ke dalam tiga kelompok besar prioritas.
Ranking 1 dan 2 termasuk dalam prioritas rendah. Normalnya bisa dianggap sebagai risiko yang dapat diterima. Tindakan pengendaliannya hanya berupa pemantauan saja.
Ranking 3 sampai 6 termasuk dalam prioritas sedang atau menengah (medium). Kalau kejadian tertentu masuk ke dalam ranking ini maka sudah harus dilakukan perhatian secara serius, setidaknya dari Kepala Satuan Kerja lapis pertama. Di kategori ini tindakan yang perlu diambil adalah pengendalian yang sesuai dan perlu dilakukan.
Ranking 7 sampai 9 termasuk prioritas sangat tinggi. Tindakan perlu segera dilakukan, tak bisa ditunda lagi. Bahkan perlu meminta perhatian dari manajemen tingkat tinggi. Tingkat pengendaliannya mulai dari upaya menurunkan risiko hingga tindakan praktis yang mungkin dilakukan (as low as practicable).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar