Rabu, 24 Desember 2008
BUPATI MALANG, PEMBINA APEL BULAN K3 KABUPATEN MALANG
Vice Governor Cymbal Movement K3 Riau
Daily Chief Executor of Activity of K3 Riau contacted
This year there is counted 21 companies getting the appreciation. \"We expect given of appreciation to that 21 company is expected by other company more is improving of Its program,\" express him.
The telling of, besides delivering that appreciation, K3 movement in this Riau is also filled with performed a by hiking at 15 February come. This hiking will follow by a number of company exist in Riau.
Beside that is also performed a by seminar related to and safety health of activity. This seminar is performed a by Disnaker Riau worked along Depnaker Center which according to plan performed a by 2 February come. \"But till now its theme not yet been determined, because determining it Depnaker center,\" express him.
When asked to this K3 year movement is executed by in Perawang, Asmizal tell this matter on the request of PT Indah Kiat Pulp Paper and (IKPP) expressing ready to become host. This company which account all expense of required activity.
For the execution of this K3 movement it is true a number of big company is innings become host. Year 2002 then PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) has acted as host. Then year 2003, PT Riau Andalan Pulp Paper and innings become host. (ak)
Menilai Risiko
Mencegah lebih baik daripada mengobati. Ungkapan ini terdengar klise tapi agaknya masih tetap efektif, apalagi di dunia kerja seperti pertambangan yang memiliki tingkat risiko kerja tinggi.
Kondisi tidak aman dapat menimbulkan risiko kecelakaan yang tidak kita inginkan. Sepanjang 2006 lalu ada 294 kondisi tidak aman yang tercatat saat insepksi rutin oleh Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) baik di PTBA dan mitra kerja. ”Kondisi sebenarnya di satuan kerja bisa jadi lebih besar dari ini, karena ada kemungkinan tidak tercatat oleh Departemen K3,” kata Sukono, Asisten Manajer Pengawasan K3 & Hyperkes PTBA.
Kondisi tidak aman bisa terjadi berulang-ulang setiap tahunnya. Lampu penerangan jalan yang mati, umpamanya, baru bisa diganti yang baru dua atau tiga hari kemudian. Ini memang kondisi yang tidak fatal. Sehingga menurut Sukono, ”Kalau dilakukan perencanaan yang lebih bagus lagi, kondisi ini tidak mungkin terjadi lagi.”
Menurut Sukono, suatu kecelakaan kerja sebetulnya bisa diukur dari tingkat risikonya. Sehingga kalau kita sudah paham akan peluang dan potensi akibat dari kondisi tidak aman itu maka sebetulnya kita bisa mencegah atau mengurangi risiko kecelakaan itu sebelum terjadi kejadian sesungguhnya.
Tingkat risiko bisa diukur dari kemungkinan peluang (probability) dan akibat (consequency) munculnya suatu kejadian berbahaya. Di dalam matrik penilaian risiko PTBA, kemungkinan peluang terbagi ke dalam empat kelas. Pertama, kemungkinan munculnya peluang sangat kecil, berarti secara praktis kemungkinan terjadinya kecelakaan sangat kecil. Bisa jadi kejadian itu hanya terjadi sekali dalam kehidupan sebuah industri, pabrik atau tambang. Kedua, kemungkinan peluang terjadinya jarang. Berarti kejadian ini pernah terjadi di industri namun tidak sering. Kemungkinan terjadinya peluang seperti ini hanya terjadi sekali dalam 20 tahun, dan kemungkinan bisa saja terjadi suatu saat. Ketiga, kemungkinan peluang kadang-kadang. Ini terjadi rata-rata sekali dalam tiga tahun. Lalu terakhir, kemungkinan peluang yang sering terjadi, rata-rata terjadi sekali atau lebih dalam kurun waktu satu tahun.
Kemungkinan akibat yang ditimbulkan dari peluang tadi juga terbagi ke dalam empat kelas. Pertama, akibat dapat diabaikan. Kategori ini berarti kejadian tersebut hanya menimbulkan kecelakaan ringan, yang hanya perlu pertolongan ringan saja (cedera first aid). Dalam kategori ini kerugian harta benda diperkirakan hanya sampai Rp 100.000. Kedua, kategori sedang. Terjadi cedera ringan, dengan nilai kerugian harta benda lebih besar dari Rp 100.000 tapi tidak lebih dari Rp 100 juta. Ketiga, kategori besar. Terjadi cedera berat hingga menimbulkan kelumpuhan pada salah satu anggota tubuh (permanent disabling injury). Di hitung dari nilainya, kecelakaan ini menimbulkan kerugian harta benda lebih dari Rp 100 juta hingga Rp 10 miliar. Kategori keempat, katastropik. Yakni satu atau lebih kecelakaan fatal yang menimbulkan kerugian harta benda lebih besar dari Rp 10 miliar.
Dari matrik peluang dan akibat, maka setiap kotak memiliki ranking penilaian risikonya masing-masing. Semakin kecil rankingnya maka prioritas perbaikannya semakin rendah. Ada 9 ranking yang disusun oleh Departemen K3, yang terbagi ke dalam tiga kelompok besar prioritas.
Ranking 1 dan 2 termasuk dalam prioritas rendah. Normalnya bisa dianggap sebagai risiko yang dapat diterima. Tindakan pengendaliannya hanya berupa pemantauan saja.
Ranking 3 sampai 6 termasuk dalam prioritas sedang atau menengah (medium). Kalau kejadian tertentu masuk ke dalam ranking ini maka sudah harus dilakukan perhatian secara serius, setidaknya dari Kepala Satuan Kerja lapis pertama. Di kategori ini tindakan yang perlu diambil adalah pengendalian yang sesuai dan perlu dilakukan.
Ranking 7 sampai 9 termasuk prioritas sangat tinggi. Tindakan perlu segera dilakukan, tak bisa ditunda lagi. Bahkan perlu meminta perhatian dari manajemen tingkat tinggi. Tingkat pengendaliannya mulai dari upaya menurunkan risiko hingga tindakan praktis yang mungkin dilakukan (as low as practicable).
Minggu, 21 Desember 2008
pekerja sadar K3 dibanding profesional !?
Mencoba memberi masukan yang profesional (maunya).
Sekedar perkenalan, saya Taru, kerja jadi “buruh” safety di kontraktor Surabaya, jebolan UNS jurusan Hiperkes & KK (sekalian promosi, he.. he..), baru buka google ngetik accident of contruction, eh keluar nich page, baca artikel-artikelnya, bagus banget, communicative, santai, tapi tetep informative n mengena.
Ada sedikit pertanyaan tentang “cara membangun kesadaran K3 di pekerjaan konstruksi”, kalo pekerja lapangan kaya carpenter, rebarman, dll sich lumayan gampang, tapi aneh, orang-orang yang ngakunya lebih profesional seperti project manager, site manager, dan orang-orang kantoran malah sulit memahami arti pentingnya K3, beliau-beliau sering melanggar sendiri peraturan K3 yang dalam tanda kutip mereka tandatangani sendiri.
Tolong pak, beri masukan yang “profesional” untuk orang-orang yang “profesional” juga kalo ada minta foto-foto accident di pekerjaan kontruksi. Budaya orang Indonesia, “belajar dari pengalaman”, kalo gak ada pengalaman dulu katanya sulit belajar, semoga dengan gambar-gambar ‘ngeri’ dari orang-orang yang udah mengalami accident menjadi pembelajaran visual, dan tentunya kecelakaan dapat dihindari.
Hallo Taru yang ahli safety, salam kenal. Omong-omong atas dasar apa bahwa anda yakin kalau saya bisa memberi masukan profesional ?
Padahal kalau anda baca statement saya di pojok kanan atas, sama sekali tidak mencantumkan tentang bidang tersebut. Sebagai structural engineer maka jelas yang dimaksud dengan safety adalah keamanan struktur ketika dipakai, jadi tidak pernah itu mempelajari aspek manusia pekerjanya. Nggak ada itu di mata kuliah S1, S2 maupun S3 jika bidang yang ditekuni yaitu structural engineering. He, he, mohon masukan dari para structural engineer yang lain. Betul nggak ? Kalaupun ada yang membahas hal tersebut di level S1 pasti itu di mata kuliah manajemen konstruksi atau semacamnya gitu.
Kalau begitu pak Wir nggak bisa ngasih masukan dong ?
Emangnya saya ngomong begitu ! Saya hanya mau mengatakan bahwa untuk menjawab pertanyaan anda, jelas, saya tidak bisa mengandalkan ilmu structural engineering yang menjadi core kompetensi formal saya selama ini.
Jadi pakai ilmu kompetensi apa pak Wir ?
Wah mau tahu aja ! Pakai apa ya ? Jadi bingung sendiri ! Aku di sini ngakunya apa aja sih ? O ya, ada ini lho :
- structural engineer,
- computer programmer,
- digital photographer and manipulation,
- drafter,
- writer,
- speaker,
- researcher,
- christian faith,
- doctoral candidature and
- lecturer
Lho koq banyak juga ya. Wah meragukan kalau begitu. Emangnya ada orang punya kompetensi sebanyak itu.
Aku sendiri juga bingung lho. Tapi kalau sedang memeragakan kapasitas sebagai salah satu pribadi tersebut, rasanya enjoy-enjoy aja tuh.
Kayaknya untuk menjawab pertanyaan saudara, saya harus memakai peran sebagai writer, researcher, christian faith. Ok ?
Setelah menganalisis tulisan saudara secara keseluruhan, maka saya menyimpulkan, bahwa yang menjadi permasalahan utama adalah :
orang-orang yang ngakunya lebih profesional . . . malah sulit memahami arti pentingnya K3,
Iya khan ? Pasti deh, oleh karena itu yang saya jadikan judul artikel ini. Ini juga contoh bagaimana cara menulis artikel yang menarik.
He, he, menarik nggak sih ?
Pasti ! Buktinya anda membaca sampai ini saja sudah menjadi bukti bahwa ini menarik, padahal esensi yang mau diceritakan belum nongol juga. Iya khan.
Saya merasakan perasaan kecewa anda sebagai seorang “buruh” safety. Dengan menyatakan “buruh” saja, itu membuktikan bahwa posisi anda kelihatannya serba salah ! Nggak pede-pede amat, bukan menjadi faktor penentu, atau ekstrimnya anda merasa kadang-kadang hanya dianggap sebagai “angin lalu saja”. Ngaku aja ! Iya khan.
Tapi jangan kuatir, itu biasa. Kenapa ? Karena pada umumnya orang yang memberitahu hal-hal yang “maksudnya baik” tetapi “tidak langsung berkorelasi ke sesuatu yang cepat terlihat” dan bahkan “ada konsekuensi logis yang nggak enak“, ada sanksinya misalnya. Itu jelas nggak gampang. Bahkan kadang-kadang dicerca.
Paham nggak penjelasan di atas ? Agak philosofi lho. Baiklah saya urai saja ya.
“Maksudnya baik” adalah jelas, kesadaran K3 khan ujung-ujungnya keselamatan kerja. Zero accident gitu lho. Itu khan prinsip kerja yang menjadi tujuan semua orang. Emangnya ada orang yang mau kena accident. Pasti nggak khan.
Jadi anda pasti kesel kenapa maksud baik tersebut tidak ditanggapi positip oleh para profesional tersebut, iya khan !
“tidak langsung berkorelasi ke sesuatu yang cepat terlihat“, ini maksudnya ditujukan ke profesional tersebut. Kalau ke pekerja, maka maksudnya sudah cukup jelas ! Langsung dapat memahami apa itu bebas accident. Jadi mereka (pekerja) seperti kerbau di cocok hidungnya jika ditanya : “Emangnya kamu mau kena accident ?. Kalau begitu, pakai dong safety belt-nya“. Sedangkan bagi profesional atau anda tadi menyebutnya orang-orang kantoran, itu khan menunjukkan bahwa mereka merasa tidak bakal kena accident tersebut. Lha wong di kantoran. Coba perhatikan para profesional yang di lapangan, emangnya berani naik ketinggian bebas tanpa pengaman ! Hebat kalau ada. Bagi mereka yang di kantoran tersebut (yang tidak langsung), tidak melihat korelasi langsung kesadaran K3 tadi dengan keuntungan proyek secara keseluruhan. Apakah itu berarti profitnya langsung naik. Yang jelas, mereka harus mengeluarin anggaran untuk K3 itu. Iya khan. Baru kalau ada kejadian, terasa deh. Tapi itu khan fungsi statistik, jika terjadi aja. Apalagi kita bangsa yang religius, jika ada kejadian, lalu dinyatakan “wah kurang doanya sih !”
“Konsekuensi logis“, rasanya sudah diterangkan di atas. Ternyata untuk melaksanakan K3 khan harus mengeluarkan anggaran, minimal harus menggaji anda (buruh safety). Gitu khan. Belum hal-hal yang lain seperti prosedur kerja berbelit-belit. Orang-orang yang ngaku profesional tadi khan merasa udah pinter, digurui lagi. Jadi pantes lha kalau mereka merasa segan atau males mengikuti kesadaran k3 tersebut.
Ha, ha, ha. Gitu khan yang anda rasakan sebagai “buruh” safety.
Lalu bagaimana pak Wir ?
Saya ulangi lagi. Pertama-tama, “jangan kecil hati“. Profesi anda membutuhkan iman dan keyakinan yang kuat. Anda harus yakin bahwa profesi anda adalah mulia, mengajarkan keselamatan. Dalam hal ini adalah keselamatan dunia. Jadi kalau agama mengajarkan keselamatan dunia akherat, maka anda adalah porsi dunianya. Hebat khan. Jadi bekerjalah dengan baik tidak sekedar pamrih gaji bulanannya saja.
Kedua. Bahwa anda menghubungkan profesi terhadap kesadaran K3 , menurut saya tidak benar. Jika kenyataan yang anda lihat adalah seperti itu, tetapi itu bukan berarti anda dapat menggeneralisasi atau mengkaitkan profesi terhadap kesadaran seperti itu.
Menurut saya itu kesalahan mereka sebagai manusia Indonesia pada umumnya, dan tidak tergantung profesi.
Wah apa itu pak Wir ?
Perhatikan. Kondisi yang anda temui seperti itu memang umum terjadi pada negara tidak maju, yang mana mereka terbatas wawasannya, hanya melihat yang nampak, yang terjadi langsung di sekitar mereka, hanya mikir jangka pendek atau hanya mikir jika itu menyangkut langsung dirinya sendiri. Orang lain ? Emangnya gua pikirin.
Kenapa begitu ? Kata kuncinya adalah pendidikan. Pemimpin negara kita khan belum melihat bahwa pendidikan dapat menjadi solusi atas semua yang terjadi dinegeri ini. Mereka hanya melihat bahwa pendidikan menghabiskan (konsumtif) anggaran negara saja. Mereka tidak melihat bahwa pendidikan adalah memberdayakan.
Howard Gardner, profesor di bidang kognisi dan pendidikan di Harvard, menyatakan :
Lembaga pendidikan formal memainkan peranan kunci dalam menentukan apakah sang individu akan menjadi pekerja yang baik dan warga yang aktif.
Pendidikan dalam hal ini adalah dalam arti luas, jelas para profesional tersebut mempunyai pendidikan cukup untuk bisa disebut profesional, bisa S1, S2 atau S3. Tapi seperti uraian saya di depan, bahwa meskipun saya punya S3 bidang structural engineering tetapi nggak bisa jika itu digunakan untuk menjawab pertanyaan saudara. Jadi pendidikan dalam arti sesuatu yang dapat mentransformasi manusia menjadi esensi sebenarnya sehingga mampu menjawab pertanyaan “mengapa saya hidup di dunia ini“. Jika itu dapat maka akan dapat dijawab secara tuntas penyelesaian permasalahan tersebut.
Coba saya bertanya kepada anda :”mengapa anda hidup di dunia ini“.
He, he, he nggak gampang bukan.
Kalau anda pak Wir ?
Esensi hidup di dunia ini cukup sederhana, yaitu
- kita harus mengembangkan diri, sehingga dapat mandiri dan tidak menjadi beban orang lain. Kata kuncinya adalah tidak mengeluh, dapat menyukuri nikmat hidup ini. Dengan menyukuri maka itu juga berarti bisa merasa berkecukupan.
- jika sudah dapat merasakan kecukupan atau perasaan kaya, maka tentunya dapat berbagi untuk orang lain. Jadi diharapkan dengan adanya kita, maka orang lain bisa merasakan hal yang sama kita rasakan.
- jika aku dan mereka (manusia yang lain) sudah terkover, maka tujuan ketiga adalah bahwa dengan semuanya itu, saya dan orang lain disekitarnya dapat saling memuliakan Tuhannya.
Itu aja tujuan hidupku, nggak ada tuh, tujuanku cari duit aja, cari gelar aja. Memang sih, itu bagian kecil yang memang harus aku usahakan selama di dunia ini.
Jadi jika semua orang sudah mempunyai pemikiran seperti itu, maka mereka akan dengan gampang melihat bahwa adanya konsekuensi logis akan kesadaran K3 adalah wajar adanya, karena mungkin tidak terlihat secara langsung pada pengumpulan duit, tapi jelas dengan hal-hal tersebut akan dapat menyelamatkan sesama yang lain. Tidak ego, mentang-mentang para profesional tersebut tidak terjun langsung ke lapangan sehingga tidak mengalami sendiri resiko accident.
Itu semua yang saya utarakan adalah kondisi ideal. Tidak setiap orang melihat bahwa itu merupakan suatu pencerahan, yang mereka lihat “duitnya ilang”. Ego tadi.
Lalu gimana ?
Itulah kunci gunanya Undang-Undang K3. Jadi anda sebagai profesional di bidang K3 harus mengacu pada undang-undang hukum. Waktu memberi penjelasan kepada para profesional maka semuanya harus dikaitkan dengan sanksi. Jika ada pekerja yang kena accident maka yang bertanggung jawab adalah atasannya.
Lho khan udah membayar buruh safety ?
Pastikan bahwa setiap prosedur K3 yang baku sudah dijalankan. Jika tidak jalan, pastikan siapa yang menyebabkan. Anda sebaiknya bikin record tertulis terhadap hal-hal yang menyebabkan prosedur K3 tidak jalan. Record tadi yang menjadi bukti bahwa bukan di anda kesalahan terjadi, tetapi di para profesional tersebut. Jadi jika sampai ada tuntutan hukum yang kena adalah mereka.
Jika mereka (para profesional) melihat bahwa setiap tindakan yang tidak mendukung K3 tadi dapat terkait dengan tuntutan hukum langsung ke pribadi mereka. Maka saya yakin itu akan memberi pengaruh positip untuk mendukung tindakan-tindakan yang mengarah kepada kesadaran K3.
Budaya orang Indonesia, “belajar dari pengalaman”, kalo gak ada pengalaman dulu katanya sulit belajar
Apa bener pernyataan di atas bahwa itu adalah budaya orang Indonesia ?
Saya bilang salah, itu bukan budaya kita. Coba lihat saja, emangnya kita belajar dari pengalaman masa lalu. Wah kalau cerita ini bisa panjang, lain artikel aja ya.
Yang jelas, budaya orang Indonesia adalah “suka meniru“, suka latah. Jadi jika ada orang kita melihat orang lain berbuat sesuatu dan ternyata tidak apa-apa, bahkan mendapat nikmat, meskipun itu melanggar hukum maka berbondong-bondonglah orang kita menirunya.
Kenapa ?
Ya seperti yang saya ungkap tadi, wawasannya sempit.
O ya, untuk gambar-gambar accident terus terang saya tidak suka mengkoleksi gambar-gambar buruk, apalagi tentang kematian. Jadi saya nggak mau ada gambar kematian di sini di blog ini. Itu hukumnya wajib.
Hikmat lebih baik dari pada alat-alat perang, tetapi satu orang yang keliru dapat merusakkan banyak hal yang baik.masih seputar perda k3
Masih seputar perda K3, menurut koran kompas pemberlakuan Perda K3 di Bandung masih simpang siur. Berikut petikannya:
“Perda K3 akan diberlakukan mulai November 2006. Soalnya perda ini kan disahkan pada November 2005 lalu. Jadi, selama ini sosialisasi terus. Tapi, bukan berarti tidak ada penertiban. Penertiban juga jalan terus,” ujar Dada Rosada kepada wartawan, Minggu (1/1) malam.
Sementara itu, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandung Priana Wirasaputra mengatakan, Perda K3 akan diberlakukan mulai bulan April 2006. Pasalnya, perda ini disahkan pada April 2005 lalu. ”Setiap perda butuh waktu setahun untuk sosialisasi,” kata Priana, Senin.
Jadi, kita tunggu saja tanggal mainnya.
SMK3 dan Manfaatnya bagi Kalangan Dunia Usaha
Dunia usaha saat ini mulai disibukkan dengan adanya sejumlah persyaratan dalam perdagangan global, yang tentu akan menambah beban bagi industri. Persyaratan tersebut adalah kewajiban melaksanakan Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja, sesuai dengan Undang-Undang No. 15 tahun 2003 pasal 87. Persyaratan ini sebenarnya sebuah kewajiban biasa, bukan beban yang harus ditanggung setiap perusahaan. Kewajiban karena seharusnya sudah diperhitungkan sebagai investasi perusahaan. Dianggap sebagai beban karena belum seluruh perusahaan melakukannya.
Yang menjadi pokok permasalahan adalah awareness terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di masyarakat pada umumnya dan masyarakat industri pada khususnya. Sesuai dengan Permenaker 5/96 Sistem Manajemen keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses, dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.
Tujuan dan sasaran SMK3 adalah menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi, dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif. Dalam penerapannya SMK3 harus dilaksanakan pada setiap perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karateristik proses atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti ledakan, kebakaran, pencemaran, dan penyakit akibat kerja.
Mengapa pelaksanaan SMK3 di industri masih belum seperti yang diharapkan? Beberapa hal yang dapat disampaikan disini adalah:
- Kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat pada umumnya dan kalangan industri pada khususnya.
- Cara penerapan SMK3 yang masih belum banyak dimengerti.
- Dianggap sebagai high cost.
- Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) belum menjadi prioritas.
- SMK3 kurang populer seperti OSHASS 18001.
KURANGNYA PEMAHAMAN
Implemntasi program K3 belum sepenuhnya diadopsi oleh pelaku dunia usaha. Pendekatan K3 ke masyarakat selama ini baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga/instansi lainnya bersifat formal. Informasi tentang K3 masih sebatas pada tatanan akademis dan masyarakat sendiri (yang juga masih sangat terbatas pada mereka yang menangani produksi). K3 belum menjadi budaya di masyarakat kita, terutama pada masyarakat industri. Masih terbatasnya informasi tentang K3 melalui media cetak dan elektronik menyebabkan para ahli, pemerhati, dan konsultan K3 lebih banyak clubbing di dunia maya. Mereka membentuk komunitas sendiri yaitu komunitas K3, dan saling memberikan informasi terbaru.
Informasi k3 pada media cetak memang sudah ada, tetapi masih belum memadai. Pemerhati K3 pada umumnya memberikan komentar, infomasi, opini bila suatu peristiwa (kecelakaan) sudah terjadi. Selama ini media cetak maupun elektronik hanya memuat atau menayangkan peristiwa (kecelakaan, kebakaran atau ledakan) yang terjadi dengan jumlah korban dan harta sebagai akibatnya, tanpa ulasan mengapa dan bagaimana peristiwa tersebut terjadi. Kurangnya biaya untuk penyebaran informasi ini juga sebagai sebuah kendala.
PENERAPAN SMK3
Meskipun SMK3 digaungkan sejak tahun 1996, tetapi hasil dari gaung tersebut masih jauh dari yang diharapkan. Pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan oleh pemerintah selama ini masih sangat terbatas. Kemudian karena adanya persyaratan, lembaga pelatihan swasta tidak semuanya dapat melakukan pelatihan tersebut. Pelatihan juga bersifat parsial, sehingga peserta pelatihan tidak dapat langsung menerapkan di perusahaan. Menjadi kendala juga karena untuk mengikuti pelatihan yang benar-benar nantinya langsung dapat diterapkan membutuhkan waktu ekstra, dan hal ini tidak diijinkan oleh perusahaan dengan alasan mengganggu produksi, terlebih bila peserta ini adalah karyawan yang potensial. Untuk menghindari adanya gangguan produksi perusahaan mengharapkan pelatihan dilakukan pada hari libur, karyawan pun bersedia hanya saja efek yang lain adalah karyawan menuntut lembur.
DIANGGAP HIGH COST
Paradigma pelaksanaan K3 sebagai biaya nyatanya masih membayangi sebagian manajemen perusahaan dalam mengelola sistem K3. Orientasi perusahaan cenderung lebih difokuskan pada produksi. Banyak perusahaan yang menganggap pengadaan peralatan K3 seperti alat pelindung diri identik dengan biaya. Kenyataannya memang pelaksanaan dari peraturan K3 akan memakan biaya, hanya saja biaya yang dikeluarkan akan berbuah keuntungan yang lebih besar bagi perusahaan. Artinya dengan nihilnya kecelakaan besarnya investasi yang dikeluarkan akan terbayar dengan peningkatan produktivitas pekerja. Anggaran program K3 untuk setiap perusahaan akan sangat bervariasi tergantung dari awareness, besar kecilnya perusahaan, resiko bahaya yang ada, persepsi terhadap K3, dan sebagainya.
Program K3 sangat penting untuk dilaksanakan sebab bila terjadi kecelakaan kerja yang berakibat menimbulkan korban jiwa, dapat menunda pekerjaan dan bahkan menjadi masalah hukum yang memakan waktu cukup lama. Disinilah dalam K3 kita mengenal hidden cost/biaya tersembunyi. Adanya korban jiwa, perusahaan selain memenuhi kewajiban untuk biaya-biaya yang telah ditentukan (fenomena gunung es), ternyata masih banyak biaya lain yang harus dikeluarkan misalnya pemenuhan permintaan yang terlambat karena adanya kecelakaan, sehingga menyebabkan karyawan lembur.
Apabila korban tersebut adalah karyawan yang mempunyai keahlian, perlu merekrut karyawan baru untuk dilatih dan jelas hal ini membutuhkan waktu dan biaya. Karena itu perusahaan dituntut untuk efisien dan efektif dalam pelaksanaan program K3. Kita harus sadar bahwa pencegahan lebih baik dan lebih murah daripada pengobatan.
Karena alasan biaya, perusahaan mendahulukan kepentingan produksi daripada pelaksanaan K3. Terutama untuk perusahaan yang sedng mengaktualisasikan keberadaannya. Menjadi lebih ironis ketika kesadaran terhadap aspek K3 di dunia usaha belum sepenuhnya menjadi bagian dari aktivitas bisnis.
SMK3 KURANG POPULER
Pemasaran SMK3 tidak segencar OSHASS 18001. Buyers dari luar negeri memilih OSHASS 18001 sebagai persyaratan untuk menjadi stake holder mereka. Keberadaan badan audit OSHASS 18001 merata di daerah hampir seluruh indonesia. Hal ini menandakan jangkauan dan biaya menjadi lebih rendah. SMK3 seperti produk-produk yang lain seharusnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Dengan permasalahan-permasalahan diatas beberapa langkah yang kiranya dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
- Informasi K3 yang terus menerus, baik itu dilakukan oleh lembaga pemerintah, swasta, maupun lembaga swadaya masyarakat melalui media cetak dan media elektronik. Sasaran informasi dobagi dalam segmen-segmen usia. Informasi k3 sebaiknya sudah diberikan pada awal-awal usia dini. Pengalaman selama ini informasi melalui media elektronik sangat mudah diserap oleh anak-anak, dengan materi peristiwa yang ada di sekelilingnya. Pendidikan K3 seyogyanya diselenggarakan di semua tempat baik di rumah dan dalam keluarga, sekolah-sekolah, tempat umum, tempat kerja, tempat rekreasi, dan lain-lain. Kemajuan yang pesat pada bidang teknologi informasi memungkinkan penyebaran informasi dan petunjuk dalam bentuk yang lebih luas dan lebih intensif. Sarana audio visual seperti CD, VCD, LCD dan sebagainya sangat praktis untuk digunakan. Dapat juga diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan kelompok-kelompok sasaran berdasarkan kondisi dan situasi yang ada. Pembuatan buku-buku K3 yang dapat dibaca oleh seluruh lapisan masyarakat, karena K3 menjadi tanggung jawab bersama seluruh masyarakat.
- Pelatihan penerapan SMK3 sebaiknya dilakukan dengan lebih sering dalam frekwensi dan lebih efektif. Pelatihan disusun secara bulat dan utuh sehingga peserta segera dapat melaksanakan bila kembali ke perusahaan. Materi dapat dimulai dari peraturan-peraturan yang berlaku, kemudian mekanisme penerapan SMK3, bagaimana cara menerapkannya, bagaimana pendokumentasiannya, dan sebagainya.
- Untuk menanggulangi biaya tinggi, kinerja perusahaan hendaknya efektif dan efisien, dengan pengertian kewajiban melaksanakan SMK3 atau program-program K3 tidak dapat ditunda lagi. Program K3 haruslah bersifat spesifik, dapat diukur, layak untuk dilakukan, ada yang bertanggung jawab, dan terjadwal. Pembuatan program bersifat prioritas sesuai dengan identifikasi masalah-masalah yang timbul.
- K3 bukan lagi sebagai kewajiban, sebagai gerakan, atau hanya sekedar kampanye, tetapi sudah sebagai kebutuhan. Budaya K3 harus dikembangkan melalui kemitraan dan dialog antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Kemitraan menyangkut tanggung jawab, tugas, dan penciptaan tempat kerja yang aman, selamat, dan sehat.
- Dalam pelaksanaan tender/lelang pekerjaan peserta tender/lelang diwajibkan memasukkan program K3 (telah menerapkan SMK3) pada persyaratannya.
Dengan langkah-langkah atau saran tersebut diatas, diharapkan SMK3 menjadi impian setiap perusahaan yang menginginkan keberadaannya dan citranya di masyarakat tidak dipandang sebelah mata. Remember, safety is your responsible.
Do it now. Change your mind.
Penulis : Ir. Haryuti (pemerhati K3 di Jawa Timur)
Sumber : SDM Plus
Sabtu, 20 Desember 2008
सरिता-सरिता इकुत पेलातिहन k3
Kok gak ada yang nanyain ya, kemana aja si Dina gak pernah keliatan di kantor seminggu ini :P Mungkin aku harus ganti strategi, nyulik laptop sekretariat! Kalo gitu baru deh bakal dicariin, laptopnya. :P Cian deh gw.
Dari Senin kemaren, hidup dalam karantina di suatu Hotel Gondangdia di daerah Cisarua bersama 18 rekan dari DIVRE 2. Hampir semuanya manager dari Bagian GS dan USAS DATEL se Jakarta. Satu orang manager dari BP DIVRE, pak Suradi. Tiga orang Asman Asset pengganti Manager GS Pusat, Timur dan Bekasi Ida Susanty, Sri Iswirdaningsih dan Tatry Canny. Satu orang Asman USAS DIVRE 2, Idris Sardi. Mereka ini akan menjadi Sekretaris P2K3 di masing-masing lokasi kerjanya. P2K3 singkatan dari Panita Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Aku hanya tim pendukung dari Infratel, gak perlu disebut mau jadi apa.
Nama pelatihannya Pelatihan Ahli K3, lanjutan dari SMK3 (Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja), dengan instruktur dari Depnakertrans. Pelatihan ini program brevetisasi, dengan ujian yang hanya menyatakan salah satu dari dua hal: lulus/tidak lulus* *coret salah satu. Materi yang dihapal sebagian berupa undang-undang dan peraturan menteri. Permen beneran sih enak :P Peraturan Menteri juga enak, kalo nggak harus ditest hapal enggaknya. Sebagian lagi teknis dari perasan ilmu fisika, kimia, biologi dan psikologi beserta turunannya. Penyandang jabatan sekretaris P2K3 harus bersertifikat ‘lulus sebagai Ahli K3′ ini.
Aku nggak mau nyeritain kondisi akomodasinya. Terlalu pahit untuk diingat. Tapi tak apalah, anggaplah ini perjuangan demi sebuah brevet. Dan badge pengawas K3 warna emas yang bentuknya mirip badge LAPD yang muat di dompet. Aku akan makin narsis kayaknya. Kalo lulus :(
Ujian dan seminar yang sangat menentukan diselenggarakan dua hari pertama pada minggu depan. Mudah-mudahan aku masih bisa menikmati weekend, dengan beban hapalan selemari.
Pelatihan ini terdiri dari 120 jam pelajaran, terbagi 80 jam klasikal dan 40 jam test materi dan seminar (bikin makalah dan disajikan untuk dibantai rekan sendiri). Harusnya dilaksanakan selama 12 hari kerja, tapi bos pemberi tugas dan sponsor dana pelatihan nggak rela kami meninggalkan tugas kantor lama-lama, jadilah dimampatkan jadi 7 hari kerja. Itu pun semuanya terkoneksi ke portal dengan laptop dan wireless LAN untuk menuntaskan kerja kantor secara paralel. Kecuali aku. Walhasil pak Pungky Widiatmoko, mantan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Tenaga Kerja yang menjadi instruktur pertama kami, menceramahi kami selama 30 menit penuh karena kami dianggap telah memperkosa rancangan kurikulum pelatihan yang beliau desain sendiri.
Tadinya kami agak bete dan sempat menganggapnya Post Power Syndrome hiks…. biasa lah belum kenal maka tak sayang.. Walaupun itu bukan kesalahan kami (sapa sih yang mau dikarbit kayak gini) tapi ya disabar-sabarin deh… sambil mencoba mengarahkan beliau supaya fokus ke materi *waks… sapa guru sapa murid sih*. Kesabaran kami menerimanya berakhir bahagia ketika mendapatkan limpahan ilmu bagaikan air bah, bahkan pada jam kritis mata kami tidak rela menutup takut kehilangan kata per kata. Menurutku pak Pungky adalah Master Yoda-nya Perlindungan Tenaga Kerja, dengan segala penampilan antiknya. Pada akhirnya karena kami aktif nanya-nanya, dan ini menandakan ketertarikan kami pada apa yang disampaikannya, beliau jadi luluh dan mulai menyukai kami, juga mendoakan kami lulus. Semoga ya pak.
Semenjak itu, jadilah kami romusha jaman modern. Jam 6.30 sudah harus mengisi energi untuk jam 07.00 s.d 22.30 malam, setiap hari. Untuk menghela stress, lama-lama akhirnya kami jadi guyonan terus. Tapi wajar nggak sih, kalo ngeliat foto-foto kecelakaan kerja kayak gambar orang mati dengan mata terbelalak, setengah badan pejret terhimpit kontainer masih juga ketawa-ketawa :O
Bu Wirda, Asman Asset Jakarta Timur yang sekamar ama aku, nyumbang cerita. Beliau cerita kemarin baru dapat kabar kalo hasil test daftar S2 bea perusahaannya gugur. Tapi kekecewaan itu terlewati dengan ikut serta dalam pelatihan SLTP (Supervisory Leadership Training Program) yang juga katanya diikuti mas Prio dan mas Paulus Wibowo. Aku cerita sama bu Wirda bahwa aku tahu kedua orang ini. Yang satu rekan juri Flexter Blogging *cieh… plok plok plok*, dan yang satu aku baru kenalan kemarin-kemarin, karena aku kan yang beli rumah mbak Titing, kakaknya mas Paulus, yang kujadikan rumah bambu itu. What a small small world!
Bu Wirda bilang, mungkin aku memang belum pantas lulus test S2 *sigh*, karena baru sampai level SLTP, dan sekarang baru pantas dilanjut dengan SMK3. Hihihi…
बेरिता k3
Mencegah lebih baik daripada mengobati. Ungkapan ini terdengar klise tapi agaknya masih tetap efektif, apalagi di dunia kerja seperti pertambangan yang memiliki tingkat risiko kerja tinggi.
Kondisi tidak aman dapat menimbulkan risiko kecelakaan yang tidak kita inginkan. Sepanjang 2006 lalu ada 294 kondisi tidak aman yang tercatat saat insepksi rutin oleh Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) baik di PTBA dan mitra kerja. ”Kondisi sebenarnya di satuan kerja bisa jadi lebih besar dari ini, karena ada kemungkinan tidak tercatat oleh Departemen K3,” kata Sukono, Asisten Manajer Pengawasan K3 & Hyperkes PTBA.
Kondisi tidak aman bisa terjadi berulang-ulang setiap tahunnya. Lampu penerangan jalan yang mati, umpamanya, baru bisa diganti yang baru dua atau tiga hari kemudian. Ini memang kondisi yang tidak fatal. Sehingga menurut Sukono, ”Kalau dilakukan perencanaan yang lebih bagus lagi, kondisi ini tidak mungkin terjadi lagi.”
Menurut Sukono, suatu kecelakaan kerja sebetulnya bisa diukur dari tingkat risikonya. Sehingga kalau kita sudah paham akan peluang dan potensi akibat dari kondisi tidak aman itu maka sebetulnya kita bisa mencegah atau mengurangi risiko kecelakaan itu sebelum terjadi kejadian sesungguhnya.
Tingkat risiko bisa diukur dari kemungkinan peluang (probability) dan akibat (consequency) munculnya suatu kejadian berbahaya. Di dalam matrik penilaian risiko PTBA, kemungkinan peluang terbagi ke dalam empat kelas. Pertama, kemungkinan munculnya peluang sangat kecil, berarti secara praktis kemungkinan terjadinya kecelakaan sangat kecil. Bisa jadi kejadian itu hanya terjadi sekali dalam kehidupan sebuah industri, pabrik atau tambang. Kedua, kemungkinan peluang terjadinya jarang. Berarti kejadian ini pernah terjadi di industri namun tidak sering. Kemungkinan terjadinya peluang seperti ini hanya terjadi sekali dalam 20 tahun, dan kemungkinan bisa saja terjadi suatu saat. Ketiga, kemungkinan peluang kadang-kadang. Ini terjadi rata-rata sekali dalam tiga tahun. Lalu terakhir, kemungkinan peluang yang sering terjadi, rata-rata terjadi sekali atau lebih dalam kurun waktu satu tahun.
Kemungkinan akibat yang ditimbulkan dari peluang tadi juga terbagi ke dalam empat kelas. Pertama, akibat dapat diabaikan. Kategori ini berarti kejadian tersebut hanya menimbulkan kecelakaan ringan, yang hanya perlu pertolongan ringan saja (cedera first aid). Dalam kategori ini kerugian harta benda diperkirakan hanya sampai Rp 100.000. Kedua, kategori sedang. Terjadi cedera ringan, dengan nilai kerugian harta benda lebih besar dari Rp 100.000 tapi tidak lebih dari Rp 100 juta. Ketiga, kategori besar. Terjadi cedera berat hingga menimbulkan kelumpuhan pada salah satu anggota tubuh (permanent disabling injury). Di hitung dari nilainya, kecelakaan ini menimbulkan kerugian harta benda lebih dari Rp 100 juta hingga Rp 10 miliar. Kategori keempat, katastropik. Yakni satu atau lebih kecelakaan fatal yang menimbulkan kerugian harta benda lebih besar dari Rp 10 miliar.
Dari matrik peluang dan akibat, maka setiap kotak memiliki ranking penilaian risikonya masing-masing. Semakin kecil rankingnya maka prioritas perbaikannya semakin rendah. Ada 9 ranking yang disusun oleh Departemen K3, yang terbagi ke dalam tiga kelompok besar prioritas.
Ranking 1 dan 2 termasuk dalam prioritas rendah. Normalnya bisa dianggap sebagai risiko yang dapat diterima. Tindakan pengendaliannya hanya berupa pemantauan saja.
Ranking 3 sampai 6 termasuk dalam prioritas sedang atau menengah (medium). Kalau kejadian tertentu masuk ke dalam ranking ini maka sudah harus dilakukan perhatian secara serius, setidaknya dari Kepala Satuan Kerja lapis pertama. Di kategori ini tindakan yang perlu diambil adalah pengendalian yang sesuai dan perlu dilakukan.
Ranking 7 sampai 9 termasuk prioritas sangat tinggi. Tindakan perlu segera dilakukan, tak bisa ditunda lagi. Bahkan perlu meminta perhatian dari manajemen tingkat tinggi. Tingkat pengendaliannya mulai dari upaya menurunkan risiko hingga tindakan praktis yang mungkin dilakukan (as low as practicable).
Holcim Gelar Tour K3 di Delapan Kota
| |
|
Rabu, 10 Desember 2008
kecelakaan kerja.
Keselamatan dan kesehatan kerja difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya. Hasil karya dan budayanya menuju masyarakat makmur dan sejahtera.
Sedangkan pengertian secara keilmuan adalah suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) mempunyai cakupan yang luas dan kompleks serta sifat pelaksanaannya sangat berbeda-beda. Maka penanganan K3 memerlukan koordinasi yang efektif diantara sektor-sektor terkait. K3 pun tidak dapat dipisahkan dengan proses produksi baik jasa maupun industri.
Perkembangan pembangunan setelah Indonesia merdeka menimbulkan konsekuensi meningkatkan intensitas kerja yang mengakibatkan pula meningkatnya risiko kecelakaan di lingkungan kerja. Hal tersebut juga mengakibatkan meningkatnya tuntutan yang lebih tinggi dalam mencegah terjadinya kecelakaan yang beraneka ragam bentuk maupun jenis kecelakaannya.
Sejalan dengan itu perkembangan pembangunan yang dilaksanakan tersebut maka disusunlah UU No 4 tahun 1969 tentang pokok-pokok mengenai tenaga kerja yang selanjutnya mengalami perubahan menjadi UU No 12 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Dalam pasal 86 UU No 3 tahun 2003 dinyatakan bahwa setiap pekerja atau buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral, dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat serta nilai-nilai agama.
Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut maka dikeluarkanlah peraturan perundangan-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja sebagai pengganti peraturan sebelumnya yaitu Veiligheids Reglement, STBl No 406 tahun 1910 yang dinilai sudah tidak memadai menghadapi kemajuan dan perkembangan yang ada selama ini.
Peraturan tersebut adalah Undang-undang No 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja yang ruang lingkupnya meliputi segala lingkungan kerja. Baik di darat, di dalam tanah, permukaan air, di dalam air maupun udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia.
Undang-undang tersebut juga mengatur syarat-syarat keselamatan kerja dimulai dari perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan, dan penyimpanan bahan, barang produk tekhnis dan aparat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan.
Walaupun sudah banyak peraturan yang diterbitkan namun pada pelaksaannya masih banyak kekurangan dan kelemahannya. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya personil pengawasan, sumber daya manusia K3, serta sarana yang ada.
Oleh karena itu, masih diperlukan upaya untuk memberdayakan lembaga-lembaga K3 yang ada di masyarakat, meningkatkan sosialisasi, dan kerja sama dengan mitra sosial guna membantu pelaksanaan pengawasan norma K3 agar berjalan dengan baik sehingga kecelakaan kerja dapat dihindari.
Ikhwan Kunto Alfarisi
Jl Anggrek 3 No 4 Kompleks Larangan Indah
Ciledug Tangerang
ikhwan_kunto@yahoo.com
083890068448
Indonesia telah menjadikan dirinya sebagai pelopor implementasi program keselamatan dan kesehatan kerja atau K3 di Asia dan Eropa. Negara-negara Asia dan Eropa menjadikan Indonesia sebagai parameter implementasi K3. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno mengatakan, keberhasilan itu dibuktikan dengan pemberian penghargaan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono kepada perusahaan yang tidak mengalami kecelakaan kerja sepanjang tahun.
Konferensi dua hari yang dihadiri oleh beberapa negara-negara Asia dan Eropa serta diselenggarakan untuk membahas atau menciptakan program-program baru keselamatan dan kesehatan kerja demi meminimalkan kecelakaan kerja menyatakan bahwasannya berpandangan Indonesia menjadi parameter dalam penerapan upaya keselamatan dan kesehatan tenaga kerja di antara negara-negara di Asia dan Eropa.